Cerpen: Kemangi Ibu (Femina)



POHON KEMANGI yang berada di belakang rumah itu adalah milik Ibu. Tiap hari Ibu akan memetik beberapa daun dari sana. Lalu membawanya ke meja makan, memakannya bersama dengan nasi dan lauk pauk. Tiga kombinasi makanan tersebut membuat selera makan Ibu meningkat. Aku selalu mengamati Ibu. Apa pun lauknya, yang pasti harus ada daun kemangi.

Dulu, ketika aku masih kecil, rasa keingintahuanku selalu mencuat kala Ibu mengunyah makanannya lengkap dengan daun kemangi. Ibu sangat menikmati daun tersebut. Seperti makan ayam.
Dan tak pernah jemunya, aku selalu menatap Ibu makan. Hingga suatu hari, aku bertanya kepada beliau, daun apa yang sedang dimakannya.
“Namanya kemangi.”
Aku melongo memandang Ibu yang memasukkan beberapa helai daun kemangi lagi ke dalam mulutnya. Mata bocahku mengerjap-ngerjap bersama senyum Ibu yang terlukis di bibirnya.
“Kamu mau?”
Tak banyak berpikir, aku mau saja disuapi Ibu. Nasi, tempe, dan tentu saja daun kemangi, masuk ke dalam mulutku. Aku mengunyahnya perlahan. Berharap merasakan sensasi yang dirasakan Ibu. Berharap mataku seakan terpejam menikmati makanan yang selalu membuat Ibu terlena.
Semua tak seperti harapan. Aku memuntahkan seluruh makanan di dalam mulut. Daun kemangi itu, rasanya sangat aneh.
Ibu memicingkan matanya. Sejak saat itu, aku mendapat sebuah wejangan kecil dari Ibu: jangan membuang makanan yang sedang dikunyah. Itu tidak sopan.
Kemudian Ibu membelai rambutku. Seusai makan, Ibu  mengajakku ke belakang rumah. Kami berdua berdiri dekat pohon kemangi.
“Kenapa Ibu suka sekali memakan daun kemangi?”
Senyum Ibu waktu itu masih terngiang jelas di pikiranku. Sambil memegang tanganku, Ibu berkata, “Daun kemangi itu enak. Menyehatkan.”
“Enak dari mana, Bu? Rasanya aneh.”
“Aneh bagaimana?”
“Tidak pahit. Tidak manis. Tidak hambar. Tidak seperti ayam.”
Suara gelak tawa Ibu menggema. “Mana mungkin daun disamakan dengan daging ayam. Tentu saja tidak sama.” Ibu berjongkok sehingga sejajar denganku. “Daun kemangi itu menyegarkan. Ada sensasi unik ketika kita mengunyah daunnya.”
Sampai tumbuh remaja pun, aku tidak mengerti apa maksud menyegarkan dari ucapan Ibu. Aku tetap tidak menyukai daun kemangi.
Suatu siang, sepulang sekolah, aku tidak melihat Ibu di mana-mana. Aku baru menemukannya di pekarangan rumah. Berjongkok, berhadapan dengan pohon kemangi kesayangannya.
Aku mendengus kesal dan berjalan ke meja makan. Betapa geramnya aku kala menemukan di bawah tudung makanan, tak ada satu pun lauk-pauk, apalagi nasi, untuk disantap.
“Kamu masak mi aja, ya? Ibu tidak memasak.”


....


Kelanjutan cerpen ini bisa dibaca di Femina, 15 Maret 2016

Posting Komentar

0 Komentar