Cerpen: Ambofera (Pikiran Rakyat)

 
NAMAKU Ambofera. Kata mereka, beratus-ratus tahun yang silam, aku adalah biji. Kecil dan terombang-ambing oleh angin. Hingga diriku terdampar di sebuah hutan lebat. Waktu itu aku tidak tahu di mana hutan ini. Aku hanya bisa menggeliat di tanah yang penuh akar. Gelap dan tanpa ada cahaya. Aku masih ingat bagaimana rasanya di bawah. Sementara pohon-pohon yang lain sudah tumbuh membesar dan menikmati panas matahari. Diam-diam aku memendam rasa iri. Batang mereka besar. Daun mereka lebat. Akar mereka menjubel ke mana-mana.

"AKU harus menjadi mereka," ucapku dalam hati. Lambat laun, aku berubah menjadi sebatang rapuh yang hanya memiliki satu daun. Kemudian aku menunggu waktu untuk mengubah ukuran tubuh ini. Lebih tinggi sejengkal dan beberapa daun mulai tumbuh.

Sebuah pertanyaan kembali muncul. Sampai kapan aku harus menopang kepada waktu? Waktu itu sangat lambat, sedangkan aku ingin cepat membesar seperti mereka.

Aku pun bertanya kepada pohon besar yang ada di sampingku. "Bagaimana caranya agar bisa sebesar dirimu?"

Tapi dia diam saja. Dia terus mendongak memandangi matahari. Aku tak mau menyerah. Kugelitiki akarnya yang sampai ke tempatku.

"Hei, hentikan, geli!" Dia melihatku. Bayangan daunnya yang jatuh membuat aku tak bisa melihat tampangnya. "Ada apa?" sahutnya kemudian.

"Bagaimana caranya agar menjadi sebesar dirimu?"

"Hah? Kau ingin menjadi sebesar diriku? Hahahaa," tawanya membahana.

"Kau tidak akan bisa menjadi sepertiku. Waktu aku seumuranmu, ukuran tubuhku tiga kali lebih besar."

Aku menundukkan kepala. Sifat congkaknya membuatku tak berselera berbicara dengannya.

"Kecil, aku ini dari kalangan besar. Jadi tak perlu usaha untuk menjadi besar. Dan begitulah dirimu. Hahaha. Selamat bermimpi yang tidak jelas."

Aku hanya diam. Suaranya yang membahana mengundang kedatangan para lebah. Aku tidak tahu kenapa para lebah itu datang. Yang pasti, salah satu dari mereka mendatangiku lalu membisikkan sebuah pertanyaan: "Kau ingin menjadi cepat besar?"

Aku menggoyang-goyangkan daun sebagai jawaban ya.

"Aku tahu caranya."

"Sungguh? Bagaimana bisa? Kau kan hanya lebah?"

"Aku kan bisa terbang ke mana-mana. Di luar sana, ada banyak pohon yang lebih besar darinya." Lebah menunjuk si pohon congkak. "Aku pernah berbincang dengan pohon-pohon lain dan mereka membagikan caranya untukku."

Lebah membisikkan cara-cara itu ke telingaku. Sebagai jawaban, aku menggoyang-goyangkan dedaunanku.

"Sampai jumpa lagi. Akan aku ceritakan kisahmu kepada generasi-generasiku. Aku sungguh salut terhadap keinginanmu ini. Aku akan  menyuruh mereka mengunjungi kamu tiga tahun kemudian. Dan kuharap, saat itu tiba, kau sudah menjadi besar."

"Kenapa bukan kau sendiri yang mengunjungiku?"

Lebah hanya menggelengkan kepala. "Umur lebah tidak sepanjang pohon. Sampai jumpa." Dia melambaikan tangan. Lalu terbang bergabung bersama koloninya.



....


Kelanjutan cerita bisa dibaca di Pikiran Rakyat, tanggal 04 Oktober 2015

Posting Komentar

0 Komentar