Resensi: Atas Nama Kebudayaan (Carok Terakhir, Cabaca)

 Atas Nama Kebudayaan

 



Pada suatu hari, saya tidak sengaja menemukan kalimat ini di beranda Facebook: segala kebudayaan patut dilestarikan. Namun, sehabis membaca Carok Terakhir dari Tyas Yuliana, saya merasa tidak setuju dengan kalimat yang tidak sengaja saya baca itu.

 

Carok adalah budaya dari tanah Madura, yang mana pemenangnya akan diagungkan. Namun, Carok bukanlah hal baik. Di mana para petarungnya harus menggunakan sabit dan saling menyerang. Akibatnya tentu saja membuat tubuh manusia terkoyak. Seperti ini bukanlah hal baik, selain menyakiti diri sendiri, juga menyakiti orang lain.

 

Namun, segala kebudayaan akan berubah. Terlebih pada kebudayaan-kebudayaan yang mengandung kekerasan. Begitulah Dyah dan keluarga meyakininya.

 

Karena suatu kisah, Ramli, ayah Dyah, tidak lagi menganggap Carok merupakan peristiwa penting. Prinsip ini pun ditanamkan kepada keluarganya. Sayangnya, tinggal di lingkungan Madura, dimana semua orang menganggap Carok merupakan lambang kekuasaan, bukanlah hal mudah bagi keluarga Ramli. Mereka dikucilkan dan dijauhkan dari masyarakat. Mereka tetap bersabar, bahkan ketika satu demi satu sapi, mati tanpa sebab.

 

Di saat keluarga Ramli berjuang untuk meninggalkan budaya Carok, cinta hadir di hati Dyah. Sayangnya, Praseno, orang yang dicintai Dyah tinggal bersama keluarga yang menganggap Carok adalah satu-satunya pembalasan dendam. Keluarga Praseno menjunjung tinggi Carok. Dan permasalahan demi permasalahan pun bermunculan. Bisakah Dyah dan Praseno bersatu? Apa rahasia Ramli?

 

Secara garis besar, saya menyukai cerita ini. Saya menyukai cerita yang berisi lokalitas dan mengusung kebudayaan suatu tempat. Saya menemukan itu dalam Carok Terakhir. Sayangnya, pada awal bab, penulis terlalu terburu-buru untuk memaparkan seluruh tokoh, sehingga membuat sedikit bingung.

Posting Komentar

0 Komentar