Resensi Buku: Ayah, Aku Rindu Karya S. Gegge Mappangewa

 

SETELAH BADAI, TERBITLAH TERANG

Resensi Oleh Lisma Laurel



Identitas Buku

Judul Asli         : Ayah, Aku Rindu

Penulis             : S. Gegge Mappangewa

Penerbit          : Penerbit Indiva Media Kreasi

Halaman         : 192

Harga              : Rp 45.000

 

Terkadang kemalangan datang tanpa bisa kita kira. Lalu kemalangan memporak-porandakan kehidupan seperti badai menghantam kota. Hidup berasa dipenuhi kepingin kesedihan, air mata dan keputusasaan. Begitu kiranya yang terjadi dalam hidup Rudi.

Setelah usaha pertenakan ayahnya bangkrut, Rudi harus kehilangan Ibu. Kemalangan tidak berhenti sampai di situ. Rudi harus merelakan Ayahnya yang sakit untuk dibawa pergi jauh, pun termasuk rahasia kelahirannya yang muncul ke permurkaan. Rudi, seperti halnya remaja biasa, merasa seluruh hidupnya jatuh seketika.

Luka, duka, derita, tak menunggu orang dewasa dulu untuk kemudian ditimpanya. Semua kepahitan itulah yang akan menempa kedewasaan… (Halaman 60)

Barangkali Rudi tidak akan bisa bertahan andaikan tidak ada orang-orang yang selalu ada dan memberikan semangat. Orang-orang itu adalah Pak Sadli, Nabil, Ahmad, serta teman-temannya yang lain.

Rudi menjelma remaja tangguh. Dia tidak ingin menyerah terhadap segala kesulitan. Rudi akan berusaha sekeras mungkin menerima segala ketetapan Tuhan.

Dan rasa cintanya kepada Ayah yang sakit, tidak akan pernah memiliki batas.

Dia pernah membuatku bangga dan bahagia memilikinya. Saya ingin sekali memeluknya erat. Sangat erat. Namun seerat apa pun saya memeluknya, dia tetaplah bukan milikku. Bukan karena dia telah memiliki dunia lain, bukan. Semata karena dia memang tak bisa kumiliki lagi. “Ayah, kamu tetap ayahku. Sampai kapan pun!” bisik batinku. (Halaman 185)

Membaca buku ini mengingatkan terhadap kisah saya sewaktu remaja, bahwasanya kehidupan adalah rangkaian permasalahan yang akan menjadikan kita pribadi lebih kuat, lebih bijaksana dan lebih mencintai diri sendiri. Segala permasalahan memang harus diselesaikan dengan kepala dingin.

Gaya penulisan dalam novel ini sedikit puitis. Di beberapa kalimatnya, rasanya saya ingin memberi garis bawah, tapi gaya bahasa semacam ini cukup riskan. Salah satunya ketika dipadukan dengan dialog. Terasa agak sedikit dipaksakan. Seperti yang diketahui bahasa dialog sebaiknya menggunakan ragam percakapan pada umumnya.

Sedangkan setting yang dipakai cukup menarik bagi saya. Jarang sekali saya membaca novel bersetting Allakkuang, yakni sebuah kampung di Makassar. Uniknya lagi, novel ini juga membalut konflik utama novel dengan cerita rakyat setempat, yaitu Nenek Mallomo.

Rangkaian ceritanya pun menyebar di sepanjang novel. Asyik untuk dinikmati dari awal sampai akhir.

Dari buku ini saya mempelajari bahwa kita tidak bisa memilih takdir seperti apa. Itu adalah ujian kita untuk menjadi manusia seutuhnya. 

Buku remaja Indonesia, didominasi oleh percintaan. Namun, buku ini memberikan nuansa baru. Buku ini bisa menambah wawasan dan pengalaman bagi remaja supaya bisa menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya.  

 

 

Posting Komentar

0 Komentar