cerpen
Cerpen: Jangan Bangunkan Aku Hari Ini. (Detik.com : 12 Mei 2018)
Jangan bangunkan aku hari ini! Karena kemarin aku begitu lelah dengan segala hal. Aku lelah karena harus beradaptasi dengan dunia luar yang tidak pernah aku sentuh sebelumnya.
Dunia luar yang kudatangi kemarin adalah sebuah kota bernama Bangil. Aku tidak memilihnya acak. Nama Bangil sering aku lihat di cerpen-cerpen yang kubaca. Katanya Bangil adalah kota kecil dengan segala keramahtamahan. Katanya Bangil adalah dunia bersih tanpa sampah. Katanya di Bangil kita bisa melakukan semuanya.
Tetapi itu katanya, katanya, dan katanya. Buktinya ketika aku melihat sendiri, Bangil tidak lebih dari sebuah kota yang sama dengan kota-kota lain. Aku ke sini, bukan karena terbujuk oleh kotanya yang bersih atau keramahtamahan penduduk, melainkan satu hal: aku ingin melakukan semuanya.
Aku sudah lama menantikan saat ini. Ketika di mana aku bisa melakukan semuanya tanpa ada nyinyiran-nyinyiran memekakkan telinga.
Aku memang tidak pernah ke dunia luar sebelumnya, tetapi aku tidak bodoh sehingga tidak mengetahui cara meminta maaf. Pria itu mengangguk, seulas senyum mengembang di bibirnya yang keriput, mempersilakan aku untuk pergi, dia yang akan menegakkan koper itu kembali. Aku terpaku mendengar suaranya semerdu nyanyian burung murai di hutan samping rumahku.
"Tidak apa-apa, anak muda, silakan lanjutkan perjalananmu."
Aku patuh, tentu saja. Siapa yang berani melawan suara lembut itu, bila saja aku bisa menyentuh suaranya, pastilah suara itu selembut bulu kelinci yang kubelai setiap pagi.
Stasiun Bangil ini sepi. Aku menoleh ke kanan dan kiri, berharap menemukan petugas atau beberapa orang yang membeli tiket. Namun, di sini sesepi kuburan. Tidak ada manusia sama sekali. Aku seperti terdampar ke tempat entah.
Ada hal yang dari dulu sangat aku inginkan. Menuliskan namaku di tempat-tempat yang bisa dilihat orang. Kuambil spidol merah dalam tas dan menuliskan namaku, LILIS, di tiang putih. Aku tersenyum, di Bangil kita bisa melakukan semuanya.
Aku sudah siap pergi, ketika seseorang bersuara berat memanggilku hei. Lantas kutolehkan kepala. Entah dari mana semua orang-orang itu datang? Di depan pintu stasiun, orang-orang yang terdiri dari wanita pria, tua muda, tinggi kecil, besar kurus, sedang menatap berang, kepadaku.
Mereka mengutukku dengan berkata, apa yang sudah kulakukan dengan tiang itu? Kenapa aku merusak keindahan tiang stasiun dengan spidol merah? Apa aku tidak punya kerjaan sehingga menuliskan nama di sana?
Aku tertegun bagai patung, seolah-olah lidahku kelu, membuat kata-kata meluruh. Mereka menunjuk-nunjukku dengan kuku-kuku setajam sembilu. Aku sudah menciut ketika mataku menangkap sosok suami istri berdiri di belakang kerumunan itu.
Laki-laki berpakaian abu-abu lusuh tersebut, berkata, "Pergilah! Jangan hiraukan mereka! Pergilah!"
Aku pergi seperti orang bodoh, berusaha tidak mendengar segala cacian di belakang sana. Aku bagaikan ditarik ke lingkunganku sendiri, terkelilingi oleh nyinyiran-nyinyiran memekakkan telinga. Aku berlari, berusaha untuk tidak mendengarkan semua itu. Aku berusaha berpikir positif, tidak, Bangil pasti tidak sama seperti kota lain. Pasti di suatu daerahnya, kita bisa melakukan semuanya, segala hal yang dimau, seperti cerpen-cerpen yang kubaca.
Di tempat bernama Alun-alun Bangil, aku menuliskan namaku memakai silet, mengukirnya seperti pemahat di pohon. Perlahan, perlahan, dan perlahan, sampai terbentuk kata LILIS sempurna. Aku lega. Ini namaku tanpa ada orang yang menyalahkan.
Aku sudah siap memfotonya, ketika kurasa seseorang meraih kameraku. Aku tertegun. Seseorang itu adalah wanita berbadan gembul. Dia memakai daster polkadot. Kamera sakuku yang ada di tangannya, dilemparkan begitu saja ke atas rerumputan. Dia mengangkat ujung dasternya. Lalu menginjak-injak kameraku yang tidak bersalah. Aku juga tidak bersalah.
"Kenapa kamu menuliskan nama jelekmu di sini?"
"Ini namaku, lalu ada masalah apa?"
"Bukan berarti namamu, maka kamu bisa menuliskannya sembarangan."
Aku ingin membela diriku, tetapi wanita itu bersiul dan dari segala penjuru alun-alun yang sepi, keluarlah wanita-wanita berdaster sebanyak seratus, atau dua ratus, atau mungkin seribuan. Mereka serupa, tetapi tidak sama. Mereka memakai daster-daster dengan segala motif. Namun, bentuk tubuh mereka sangat gembul-gembul. Aku menelan ludah. Habislah aku sekarang.
Aku pasti sudah mati di lingkaran kebengisan itu, jika saja tidak ada deru helikopter dan tangga tali yang terjulur di sebelahku. Aku mendongak. Sepasang suami istri duduk bersebelahan. Mereka adalah dua sejoli di peron tadi. Sang istri masih menyadarkan kepala di bahu suaminya. Seulas senyum mengembang di bibir prianya.
"Naiklah, cepat!"
Sebelum wanita-wanita itu sampai di tempatku, segera aku menaiki tangga tali. Kemudian duduk di samping sang pria. Kini aku bisa melihat seringai ompong sang istri. Wanita itu tampak mengerikan sekarang.
"Tidak apa-apa. Hanya sekali ini kita menolongnya!"
Suaminya merebahkan kepala sang istri di pundaknya. Aku memandang ke bawah, melihat kepada wanita-wanita berdaster. Mereka mengacungkan bogem kepadaku.
Perjalanan di atas udara itu teramat singkat. Aku diturunkan di sebuah jembatan. Aku tidak tahu nama tempat ini.
"Sungai Kedung Larangan," teriak si Pak Tua dari helikopter. Dia menepuk bahu si pilot, menyuruhnya untuk cepat berangkat.
Aku bingung sejenak. Kejadian-kejadian hari ini tidak sesuai prediksiku. Aku tidak berani menuliskan namaku lagi. Sejenak aku berdiri di tepi jembatan, membiarkan angin mengibarkan rambutku.
Sejam, dua jam, atau mungkin tiga jam, aku berdiri seperti itu. Sesekali memejamkan mata untuk mendengar sapaan yang tidak tahu berasal dari mana. Di sini sepi, sepanjang aku memandang tidak ada apa pun, bahkan kendaraan pun tidak ada. Aku menutup mata. Sapaan itu terdengar lagi. Aku membuka mata, tidak ada siapa pun di sini.
Jauh di dalam hati, aku ingin menuliskan nama diri sendiri. Tetapi aku tidak menemukan tempat yang cocok. Aku takut bila menuliskan namaku di benda-benda, orang-orang akan berdatangan dan mengecam perbuatanku.
Aku sudah sangat frustrasi dan ingin kembali, ketika kulihat genangan air di bawah sana. Terlihat begitu tenang. Terlebih siapa yang bakalan menyeburkan diri ke air untuk menegur orang sepertiku? Dan air tidak akan menimbulkan bekas sekalipun kita melukainya cukup dalam, 'kan?
Tanpa menunggu pikiranku berubah lagi, lantas kumasuki air berwarna jernih itu. Dengan jemari kanan, kutuliskan namaku. LILIS, LILIS, LILIS, berulang kali. Aku tertawa terbahak-bahak. Inilah akhirnya aku bisa melakukan semuanya di Bangil, sesuatu yang sangat ingin aku lakukan, menuliskan namaku sendiri.
Namun, aku salah. Pria-pria datang dari utara, semuanya berbadan kurus. Mata mereka terlihat garang di suasana terik ini.
Salah satu dari mereka mengatakan, "Kenapa kamu menuliskan nama itu di sini?'
Aku tergagap. Hampir-hampir aku menangis, lantas kudengar suara pria tua di peron, larilah! Larilah! Larilah!
Aku tidak tahu darimana suara itu berasal, yang pasti setelah mendengarnya, aku lantas berenang ke selatan. Berenang sangat cepat, melebihi ikan. Untunglah aku jago berenang, pria-pria kurus itu tidak berhasil mengejarku, mereka kelelahan di belakang sana.
Aku membiarkan diriku terseret arus. Bahwa suatu ketika arus air akan membuatku kembali ke rumah, aku mempercayai itu. Air tidak pernah berhenti. Aku terapung-rapung di air jernih tanpa warna.
Hingga beberapa jam kemudian, aku sudah sampai di rumah. Aku tidak ingin memberi tahu di mana aku tinggal. Pokoknya aku tinggal di sebuah gubuk kecil dekat hutan bersama dengan nenekku. Aku memasang tulisan di pintu kamar, jangan bangunkan aku hari ini!
Posting Komentar
0 Komentar