resensibuku
Resensi Buku: Pippi si Kaus Kaki Panjang
TIDAK ADA DUNIA SEBEBAS DUNIA PIPPI
Disadari
atau tidak, ketika kita semakin dewasa, ada-ada saja peraturan yang mungkin
kita ciptakan sendiri atau mungkin peraturan-peraturan yang dibuat orang lain
dan kita merasa itu benar lalu menerapkannya pada kehidupan. Padahal apabila
dipikirkan lebih lanjut, hal itu memang tidak seharusnya diberi peraturan. Kemudian
peraturan-peraturan tersebut kita teriak-teriakan kepada kalangan banyak kalau
hal ini benar. Itu salah. Akhirnya? Cek-cok berada di mana-mana. Akhirnya?
Pertengkaran tidak terbendung. Akhirnya? Terusaklah hubungan pertemanan. Akhirnya?
Kita saling merasa paling benar. Bila orang tersebut tidak berpendapat sama
dengan kita, kita akan mengatakan, ada masalah pada hati dan pikiran mereka.
Mengingat
hal tersebut, pernahkah kalian ingin kembali ke masa kanak-kanak saja? Pernahkah
merasa tidak ingin dikengkang dengan peraturan-peraturan tidak jelas seperti
itu? Pernahkah merasa dunia ini tidak adil karena tidak bisa memahami kita? Saya
pernah merasakannya. Beberapa kali. Tapi saya, seperti halnya kalian, tidak
bisa mengubah apa pun kecuali mengubah diri sendiri.
Membaca
buku ini, Pippi Si Kaus Kaki Panjang, membuat saya terhibur; setidaknya saya
berpikir, ada kok dunia yang tidak memiliki peraturan, yaitu dunia pada buku. Dunia
seperti dimiliki Pippi.
Pippi
merupakan seorang anak berambut merah. Dia memiliki ibu malaikat dan ayahnya adalah
raja dari suku pedalaman.
Itu
merupakan simbol. Penulis sengaja menuliskannya seperti itu agar pembaca
kanak-kanak merasa hidup yang dijalani Pippi asyik-asyik saja. Tidak diliputi
rasa kesedihan. Aslinya ibu Pippi sudah meninggal saat dia masih kecil,
sedangkan ayahnya yang merupakan seorang bajak laut, terempas ombak dan
menghilang entah ke mana.
Penulis,
Astrid Lingdren, menuliskan lagi: Tapi Pippi baik-baik saja karena tidak bersama
kedua orang tuanya. Setidaknya tidak akan yang menyuruhnya untuk melakukan apa
pun.
Tapi
siapa yang akan baik-baik saja ketika ditinggal orang tuanya? Pippi sendiri masih
kecil. Usianya sembilan tahun.
Penulis
mengatakan: Itu karena Pippi merupakan anak yang kuat.
Memang,
Pippi anak yang kuat. Dia bisa mengangkat kuda, banteng, melawan permain sirkus
yang bisa membengkokan besi, bisa mengalahkan pencuri, dan cekatan pula.
Penulis
sangat pintar sekali memberikan simbol-simbol seperti itu. Kuat yang dimaksud
penulis, saya rasa bukan hanya sekadar kekuatan fisik saja, melainkan kuat
secara mental. Hal ini secara tidak langsung memberikan sugesti kepada
anak-anak (atau mungkin pembaca dewasa) bahwa ada sisi positif dari segala
peristiwa. Alih-alih tenggelam pada kesedihan, kenapa kita tidak mencari sisi
positifnya saja?
Awalnya
buku ini saya kira adalah novel anak, tetapi saya salah. Buku manis bersampul
merah dan kuning ini, adalah kumpulan cerita-cerita Pippi. Semuanya sebanyak
sebelas judul. Ada tentang awal mula Pippi pindah ke Pondok Serbaneka, tentang
Pippi yang mulai berteman dengan Tommy dan Annika, tentang Pippi yang tidak mau
dipindahkan ke rumah penampungan anak, tentang untuk pertama kalinya Pippi
sekolah, tentang Pippi melawan pencuri di rumahnya, dan kisah-kisah
menyenangkan lainnya.
Buku
ini merupakan karya klasik sepanjang masa yang sudah diterjemahkan ke banyak
negara. Tapi pernah terjadi perdebatan untuk buku ini. Hal itu dikarenakan kisah-kisahnya
tidak memiliki amanat.
Sebenarnya
jika ditanyai tentang pendapat saya mengenai amanat pada sebuah cerita anak,
saya sendiri berpendapat bahwa setiap cerita pasti memiliki amanat, entah itu
terasa tertulis ataupun tidak tertulis. Kalau kita bisa mencermati, setiap
kisah pasti akan memiliki amanatnya, semua itu tergantung pada sudut pandang
masing-masing dan bagaimana melihatnya dari banyak sisi.
Saya
akan mengambil contoh satu kisah pada cerita ini.
Pada
cerita Pippi Berdansa Bersama Perampok. Dikisahkan kalau pada suatu malam,
ketika Pippi sedang menghitung koin emasnya di dapur, dua orang gelandangan
yang awalnya ingin meminta makan, malah berniat ingin merampok uang-uang Pippi.
Terlebih setelah mereka tahu kalau Pippi hanya bersama Tuan Nilson, monyet
Pippi, semakin menggebulah keinginan mereka untuk merampok.
Pippi
adalah anak keren. Dia bisa mengalahkan perampok-perampok itu. Namun, alih-alih
membalas mereka atau melaporkan ke kantor polisi, Pippi malah mengajak
seseorang dari mereka untuk berdansa, sedangkan lainnya memainkan musik dari
sisir. Mereka melakukan hal tersebut sampai merasa lelah.
Namun,
Pippi memberikan makanan kepada mereka. Dan ketika mereka pamitan pulang, Pippi
memberikan masing-masing satu koin emas kepada mereka.
Dari
cerita itu, saya mengambil amanat bahwa kejahatan tidak harus dibalas dengan
kejahatan, serta memaafkan kesalahan satu sama lain, merupakan hal baik.
Cerita
anak yang paling penting haruslah menyenangkan. Kalaupun mengambil tema sedih seperti
perpisahan dan lain sebagainya, haruslah ditulis dengan menggembirakan. Saya
rasa Astrid Lindgren sudah berhasil menuliskannya. Ada humornya juga.
Hanya
saja ada beberapa hal yang mengganjal pada pikiran saya. Terjemahan dalam buku
ini, saya rasa masih belum maksimal. Seperti ini:
Beberapa meter dari tanah, batang pohon ek itu terbelah menjadi dua, dan ada sedikit tempat datar tepat di pangkal belahan pohon itu. Langsung saja, ketiga anak itu duduk-duduk di atasnya. Mahkota pohon itu menyibak di atas kepala mereka bagai atap hijau. (Hal. 75)
Secara
keseluruhan, Pippi Langstrump atau Pippi Si Kaus Kaki Panjang, sangat
menghibur. Pippi memiliki jiwa bebas yang tidak akan bisa dirusak orang lain.
Identitas Buku:
Judul : Pippi si Kaus Kaki Panjang
Penulis : Astrid Lindgren
Ilustrasi : Lauren Child
Penerbit : PT. Bhuana Ilmu Populer
Cetakan : Pertama, Jakarta 2014
ISBN : 978-602-249-617-5
Tebal : 199 Halaman
Posting Komentar
0 Komentar