Novel: Anyelir Merah untuk Mereka (Bab 1)


BAB 1
SEMUA BERAKHIR KETIKA HIDUP JUGA BERAKHIR




Hujan baru saja reda, membuat aroma tanah basah menguar ke mana-mana, tapi pria berbadan bungkuk itu menyukai hal-hal seperti ini. Dia keluar dari rumahnya sambil mengenakan jaket, mencoba mengusir hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang ringkihnya. Dia adalah Pak Tukang Kebun di sekolah ini.

Dia berjalan, kedua tangan terlangkip di belakang punggung, meninggalkan pintu rumah terbuka. Dari pintu yang terbuka, tampaklah isi dari rumah: sebuah ranjang berada di tengah ruangan, lemari tua, dan badukan kecil yang di atasnya terdapat kompor, piring kotor, ketel, serta gelas, berada di sisi timur ruangan itu. Tidak ada hal istimewa di sana.

 Kepalanya menoleh, melihat ruangan di sebelah utara tanpa pencahayaan lampu. Ruangan tersebut merupakan sederetan kelas IX Multimedia dan kelas IX TKJ. Nanti apabila cahaya matahari muncul, di atas setiap kelas akan terdapat papan kayu bertuliskan IX MM1, IX MM2, IX MM3, IX TKJ1, IX TKJ2, dan IX TKJ3. Tapi itu nanti. Sekarang masihlah malam. Gelap meliputi halaman tempatnya melangkah, pun ruangan lab dan kantor Multimedia di samping kirinya. Dia tidak takut. Baginya apa yang harus ditakutkan dari kegelapan? Toh gelap juga tidak akan bertahan selamanya.

Dia berjalan dalam langkah pelan. Sekolah yang dijaganya memang menerapkan peraturan demikian. Bukan lantaran tidak punya lampu, tapi mengurangi penggunaan lampu yang dibutuhkan. Pak Tukang Kebun yang tidak mau menyebutkan nama sebenarnya itu, tidak terusik peraturan tersebut. Dia malah menyukainya. Karena baginya, gelap bisa memperlihatkan hal yang tidak pernah terlihat sebelumnya. 

Jalan di depan memecah ke tiga simpang. Lurus, ke arah pintu keluar belakang, kanan, ke arah kelas-kelas lainnya, dan simpang kiri, ke tempat di mana Pak Tukang Kebun sering menghabiskan waktunya sendiri. Ya, ke sanalah dia berbelok, ke simpang kiri, ke taman sekolah. Harum mewangian bunga taman, menyambut kedatangannya.  

Lampu taman redup. Dia masuk ke sana. Berdiri di dekat tanaman bunga sepatu. Dia menengadah, memandang langit mendung menyembunyikan bintang-bintang dan rembulan. Ini malam kelam yang dilangitnya tanpa cahaya sama sekali.

Dia menarik napas panjang, menutup mata, seolah-olah membiarkan dirinya menyatu bersama malam. Pikirannya mungkin sudah sepenuhnya kosong, bila dia tidak mendengar suara isakan.

“Isakan,” lirihnya.

Sudah banyak malam dia habiskan berada di tempat itu, entah malam cerah ataupun malam tanpa cahaya seperti hari ini, tetapi tidak pernah sekalipun dia mendengar suara isakan. Bukan suara hantu, kan? Dia tidak pernah memercayai hantu.

Pria tersebut mencarinya, melewati tanaman sepatu, berhenti di rimbunan mawar. Suara isakan tidak terdengar lagi. Hening. Dia bergeming.

“Kalian semua, aku akan mati di sini dan menghantui sekolah ini!” teriak seseorang dengan suara bergetar.

Suara itu berasal ….

Walaupun dia berbadan bungkuk, pria itu cekatan. Dia lekas berlari melewati sederetan tanaman lidah mertua, tidak menghiraukan beberapa tanaman yang rebah. Terus berlari dan menyibak sesemakan pakis. Di balik pakis itu, dia melihat seorang gadis sedang gemetaran memegangi cutter silet, diarahkan ke pergelangan tangan kiri.

Tanpa berpikir sejuta kali, pria itu menghentikan kegiatan bunuh diri si gadis. Dia berkata, “Jangan kotori tamanku dengan darahmu!”

Pada cahaya lampu yang samar-samar, pandangan keduanya beradu, menghujam dengan ketajaman mata masing-masing. Pria itu merampas cutter silet dari si gadis.

“Siapa namamu? Anak kelas mana?”

“Bukan urusanmu!”

“Aku tanya siapa namamu?!”

“Nurul! Nurul Maulidiyah! Dari kelas sepuluh multimedia tiga.”

“Yah Nurul, bila kamu ingin bunuh diri, cari tempat lain.”

Gadis itu diam saja. Air menetes dari ujung-ujung rambut keribonya. Rambut itu juga penuh akan kulit telur; serbuk putih yang sesekali terjatuh apabila kepalanya bergerak; warna merah menghias di beberapa sisi. Ada bau seperti saus tomat dan telur dari tubuh si gadis, berusaha menusuk-nusuk hidung pria itu. Pria itu bergeming, pikirannya tidak bisa ditebak. Sorot kemarahan hanya tertuju kepada si gadis dan segala kecarut-marutan penampilannya.

“Kenapa? Kamu juga menganggap aku tidak berguna! Kamu juga menyuruh untuk melenyapkan diriku sendiri! KALIAN SEMUA JAHAT! BRENGSEK!”

Si gadis meraung bagai kesetanan; sesekali menjambaki rambut. Kemudian raungannya berganti bulir air mata tertahan di kelopak mata. Dia tidak mau menumpahkan air mata.

Pria itu melemparkan cutter silet ke depan si gadis yang duduk bersimpuh di atas tubuh gempalnya. “Kamu kira semua akan berakhir setelah kamu mengakhiri hidupmu?”

Gadis itu terdiam.

“Bunuh diri saja sana dan buktikan apakah omonganku benar atau salah,” pria itu berkacak pinggang, “kamu kira semua akan berakhir setelah kamu mengakhiri hidupmu?”

Gadis itu terdiam lagi.

“JAWAB AKU!”

Tidak ada jawaban dari mulut si gadis. Air mata bagai bah membajir dari kelopak matanya. Dia menangis, menangkup wajah dengan kedua telapak tangan. Pak Tukang Kebun mengalihkan pandangan, menatap ke atas, ke langit gelap.  

Satu tokoh utama sedang menangis, sedangkan tokoh sampingan lainnya mengembuskan napas berat nan panjang. Keduanya sama-sama tidak menghiraukan cutter silet berwarna kuning tergeletak di tanah, yang tidak tahu menjadi apa di cerita sederhana ini.
  


Posting Komentar

0 Komentar