Novel: Anyelir Merah untuk Mereka (Bab 2)

BAB 2
TAMAN PADA HATI NURUL



Suara azan isya terdengar dari kejauhan. Tapi keduanya tetap tidak beranjak. Pak Tukang Kebun sedang menelangkip kedua telapak tangan di belakang punggung, berdiri di depan pakis, tepat di samping Nurul. Pandangan Pak Tukang Kebun sama sekali tidak tertuju kepada gadis yang sedang menangis itu, melainkan ke bawah, kepada kakinya yang kehilangan satu sandal jepit. Dia terlalu panik mendengar suara ingin bunuh diri tadi, sehingga tidak menyadari kalau satu sandalnya terlepas entah di mana. 
Nurul sendiri tidak menyadari hal tersebut. Suara tangisannya kian kencang, merendam suara azan dikejauhan.

***

Malam kian larut. Sudah tidak ada suara tangisan Nurul. Gadis itu sedang duduk memeluk betis, menatap kepada pucuk-pucuk pakis yang bergoyang ditiup angin. Suasana pasti terasa sepi apabila tidak ada suara jangkrik mengerik, bersahut-sahutan menjadi nyanyian alam yang indah.  

Pada ujung-ujung rambut Nurul tidak meneteskan air lagi. Tapi pakaian pramuka yang kedodoran itu masih sebasah tadi. Nurul sepertinya tidak berniat untuk beranjak sekalipun badannya mulai menggigil dan bibir tebalnya membiru.

Mata Nurul hampa. Ada begitu banyak hal berkelindan dalam pikirannya. Dia tidak tahu harus bagaimana. Pikiran mengakhiri hidup itu muncul lagi. Dia mencari cutter silet, tapi barang itu tidak ada di mana-mana. Nurul pasti menjatuhkannya di suatu tempat, dia mulai mengais tanah, siapa tahu cutter silet terkubur di sana. Percuma. Nurul menarik napas panjang karena menyadari ketidak mungkinan tersebut, bagaimana cutter silet bisa terkubur tiba-tiba, kecuali menghilangnya cutter silet tersebut disebabkan satu alasan khusus: pasti diambil Pak Tukang Kebun.

“Apa yang sedang kau cari?”

Nurul mencari suara tersebut. Berasal dari belakangnya. Di bawah tiang lampu, berdiri pria beruban yang menyilangkan tangan di depan dada. Kedua kakinya sudah memakai sandal jepit.

“Apa kau mencari ini?”

Pak Tukang Kebun melemparkan cutter silet ke hadapan Nurul. “Pikiran itu masih belum hilang juga?!”

Pak Tukang Kebun terdiam. Nurul juga terdiam. Nurul tidak jua mengambil cutter siletnya.

“Benarkah kamu ingin mengakhiri hidupmu?”

Nurul mengalihkan pandangan, berusaha agar tidak membiarkan air matanya terjatuh.

“Ceritakan masalahmu kepada orang yang kamu percayai!”

Pak Tukang Kebun beranjak. Dia melangkahi cutter silet, melintas di hadapan Nurul dengan langkah tegap.

“Aku tidak punya siapa pun untuk cerita.”

Pak Tukang Kebun berhenti. “Keluarga? Ayah? Ibu? Saudara-saudaramu?”

Dalam pikiran Nurul dia sedang memikirkan hal tersebut. Dia memang memiliki keluarga: ayah, ibu dan seorang adik bernama Ria yang sungguh sempurna. Tapi Nurul menggeleng perlahan. Tidak mungkin. Dia tidak akan bisa menceritakan hal ini kepada mereka.

“Kenapa?”

Nurul menggigit bibir bawah. Ayah. Dia, walaupun menuruni segala fisik ayahnya, tidak benar-benar dekat dengan ayahnya. Terutama sekarang ayah habis di-PHK dari pabrik. Ayah sering uring-uringan beberapa hari terakhir ini. Bagaimana bisa Nurul membebankan masalah ini kepadanya? Apa tanggapan ayah? Dia tidak mau membuat ayah lebih kesusahan.

Ibu. Sama saja. Nurul tidak pernah bercerita masalahnya kepada ibu. Ibu tidak pernah melihatnya. Ibu hanya melihat Ria. Ibu selalu menyuruh Nurul untuk mencontoh Ria. Ria ramah. Ria yang banyak teman. Ria tidak ceroboh. Ria yang bisa mengurusi dirinya sendiri. Ria sempurna. Nurul sudah muak dibandingkan terus dengan Ria. Ria pasti tidak akan memiliki masalah seperti ini. Ria populer di sekolah. Nurul sangat membenci Ria.

“Temanmu? Apakah kamu tidak punya teman?”

Nurul menggigit bibirnya semakin keras. Teman? Dia tidak benar-benar memiliki teman dekat selain Halimah. Tapi Halimah kini menjauhinya. Halimah takut berteman dengannya. Dia tidak mau dirundung seperti Nurul. Halimah tidak ada di saat Nurul seperti ini.

“Pacar?”

Bibir Nurul berdarah.

“Hentikan!” Pak Tukang Kebun menggoyang-goyangkan bahu Nurul. “Hentikan! Jangan menggigit bibirmu seperti itu! Hentikan! Aku tidak akan menanyakan apa pun.”

Nurul menyeka air mata yang mengalir dari sudut matanya.

“Apa yang kamu inginkan sekarang?” Tidak ada jawaban. “Aku tidak akan mengabulkan permintaan bunuh diri. Sekarang katakan kepadaku apa keinginanmu?”

Nurul menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi aku tidak ingin pulang sekarang. Aku tidak tahu harus ke mana. Tidak ada seorang pun yang benar-benar menjadi temanku. Aku tidak mempunyai pacar. Aku tidak mau pulang. Aku lelah karena semua ini..”

“Jangan tahan air matamu. Menangislah…”

Untuk kesekian kalinya Nurul menangis lagi.

Pak Tukang Kebun menatapnya kasihan. Dia mengatupkan mulut, rapat. Dia tahu apa tepatnya yang menimpa Nurul sekarang. Tapi dia tidak ingin memberi tahu gadis itu malam ini.

Pada pandangan mata Pak Tukang Kebun, ada taman dalam hati Nurul. Taman itu sedang dilanda badai besar yang memporak-porandakan semuanya. Dia tersenyum. Dia yakin suatu hari nanti, taman di hati Nurul akan menumbuhkan bunga-bunga yang lebih indah dari sebelumnya.




  

Posting Komentar

0 Komentar