AMUM
Novel: Anyelir Merah untuk Mereka (Bab 3)
BAB 3
AKU MEMANG PANTAS DIBENCI
Semua orang tahu kalau
Pak Tukang Kebun tinggal di sekolah ini. Rumahnya disediakan oleh pihak
sekolah, sebuah rumah yang letaknya berada paling timur, dekat kamar mandi.
Tapi baru kali ini Nurul memasukinya. Setiap jam sekolah, rumah tersebut selalu
tertutup.
Hanya ada satu ruangan
di sini. Ranjang berkaki besi berada di tengahnya. Ranjang itu seukuran satu
orang saja, berseprei hijau, berhiaskan motif bunga-bunga mawar. Selimut
garis-garis terlangkip di unjung ranjang. Rumah itu terlihat biasa saja sebelum
Nurul menyadari sesuatu. Ada yang unik di rumah ini; di samping pintu, terdapat
rak menjulang tinggi sampai ke langit-langit, berisi buku-buku, tebal dan
tipis, bersampul merah, ungu, hitam, putih, dan warna lainnya. Dari tempatnya
berdiri, Nurul bisa melihat warna sampul kuning membentuk huruf H. Nurul
membelalakan mata.
“Aku suka membaca,” kata
Pak Tukang Kebun, masuk mendahului Nurul. Dia berjalan ke badukan di ujung lain
ruangan, meletakan dua sendok gula pada cangkir gelas, lalu menuangkan air
panas dari termos ke dalamnya. Dia memasukan teh celup ke dalam gelas kaca
tersebut, memberikan sendok dan meletakannya di meja bundar, tepat di hadapan
Nurul, “kamu boleh membaca buku-buku itu selagi aku tinggal sebentar. Duduklah!”
“A-nda mau ke mana?”
“Aku tinggal sebentar.
Minumlah tehnya.”
“Tapi…”
Pak Tukang Kebun
menoleh. Nurul sedang menatap ke keramik putih yang meninggalkan bekas sepatunya.
“Jangan memperlihatkan
ekspresi bersalah seperti itu. Lantainya bisa dibersihkan.”
“Apa tidak apa-apa aku
duduk di sini? Badanku kotor…”
“Jangan pikirkan hal itu
juga. Bukan masalah besar. Duduk saja! Nyamankan dirimu. Aku tinggal sebentar
saja. Aku akan kembali lagi.”
***
Sudah sekitar lima belas
menit Pak Tukang Kebun meninggalkannya di sini. Sendirian. Nurul bisa
mengetahui semua itu dengan pasti karena dia selalu menatap jam dinding yang
berada di atas ranjang. Detiknya terdengar begitu keras. Itu jam model lama.
Warna tepiannya cokelat kusam. Kacanya pun buram di beberapa bagian. Termasuk pada
bagian tengah.
Nurul memegang erat gelas.
Dia mengaduk isinya entah sudah keberapa kali. Karena minuman panas itu, dingin
pada tubuhnya sedikit berkurang.
Jam menunjukan menit
kedua puluh ketika Pak Tukang Kebun kembali. Dia membawa dua bungkus kresek
hitam dan sebuah plastik berisi baju berwarna ungu tua.
“Untukmu.”
Semua barang berada di
depan Nurul. Satu kresek berisi sebungkus nasi.
“Nasi punel. Aku tadi
sudah makan satu.”
“Baju ini?”
“Bergantilah. Kamu tidak
bisa memakai seragam basah itu untuk semalaman. Kamu akan masuk angin.”
“Lalu ini?”
Nurul terkesiap melihat
kresek kedua. Ada bra dan celana dalam di sana.
Pak Tukang Kebun
menanggapinya dengan santai. “Kamu perlu ganti juga. Itu semua baru. Aku
membelinya dari istri Pak Jamil. Semoga ukurannya cukup.”
Pak Jamil merupakan
satpam di sekolah ini. Karena semua inilah Pak Tukang Kebun pergi dalam waktu
lama? Nurul memandangnya penuh terima kasih.
“Kamu boleh menginap di
sini jika kamu mau.”
“Bapak sendiri bagaimana?”
“Aku bisa tidur di pos
bersama Pak Jamil.”
“Terima kasih.”
“Sebelum itu, ini ada
ponsel. Hubungi orang tuamu. Bilang kamu tidak pulang. Terserah mau bilang apa.
Menginap di rumah teman atau lainnya.”
“Aku harus berbohong?”
“Apa salahnya berbohong
demi kebaikanmu sendiri? Cepatlah! Aku harus mengembalikan ponsel ini ke Pak
Jamil.”
Tidak ada yang bisa
dilakukan Nurul selain menurutinya. Dia tidak ingin pulang dalam keadaan kacau
seperti ini. Dia pasti terlihat lebih hina dimata Ria. Nurul tidak mau seperti
itu.
“Aku akan meninggalkanmu
sendirian. Terserah kamu mau yang mana dahulu. Makan dulu atau mandi dulu. Ada
piring di belakang sana. Peralatan mandi dan mencuci berada di rak sebelah
kiri.”
Nurul mengangguk
perlahan.
***
Nurul sudah mencuci
pakaiannya, diletakan di jemuran di sebelah rumah tersebut. Dia juga sudah
mandi, mengepel lantai dan menyeka dengan air, kursi kayu yang didudukinya
tadi. Nurul mulai makan. Tenang.
Setelahnya dia tidur.
Menyelimuti tubuh gemuknya dengan selimut, seperti bayi besar yang tidak
memiliki masalah apa pun.
***
Pada suatu tempat yang
dipenuhi kabut tipis, Nurul berjalan seorang diri. Melihat ke kanan, kiri,
berkeliling, dan tidak menemukan seorang pun di sana. Dia menemukan meja
pentagon berada seratus meter dari tempatnya berdiri. Gadis tambun itu berlari,
menghampiri meja pentagon yang seluruh kaki maupun permukaannya berwarna putih.
Ada sebuah buku terbuka
di meja tersebut. Nurul membuka ke arah kiri.
Layar muncul entah dari
mana. Nurul melihat dirinya sendiri beberapa bulan yang lalu. Di kamar. Sedang menyenandungkan
lagu Dia dari Anji, perlahan.
Di layar itu, Nurul yang
selalu ceria sedang memegang sisir. Dia berhenti bernyanyi ketika menyadari sesuatu.
Rambut kribonya mengembang terlalu besar. Dia tertawa cekikikan, menyadari
kelupaan sesaatnya bahwa rambutnya bisa disisir.
“Saatnya bedakan,”
katanya kepada diri sendiri.
Dengan kekuatan yang
tidak bisa dibendung, tempat bedak itu terbuka lebar, menghamburkan isinya ke
mana-mana: ke meja rias, ke lantai bahkan membuat bercak noda di sekitar papan
nama berbordir Nurul Maulidiyah di
seragam putihnya. Dia membersihkan noda itu lekas-lekas. Tapi bercak itu masih
ada. Samar-samar.
Sambil menggumankan lagu
yang sama, dia mulai memukul-mukul perlahan wajahnya menggunakan alas bedak.
Alas tersebut tampak begitu mungil di jemari gempalnya.
“Nurul! Ini sudah jam
berapa? Cepatlah! Kamu akan telat!”
Itu teriakan ibu. Nurul
cepat-cepat meletakan bedak di meja rias. Dia berbalik, tetapi tangannya menyenggol
bedak tersebut. Tumpah. Kini keseluruhan bedak menghambur di lantai semen.
Ibu adalah wanita yang
cantik. Rambutnya lurus sebahu. Ketika Nurul sedang membereskan ulah tangannya
yang tidak sengaja menyenggol bedak, ibu sudah berdiri di ambang pintu. Dia
berkacak pinggang. Mata cokelatnya menyorot geram.
“Apalagi ulahmu
sekarang?” tanya ibu.
Nurul tersenyum kecil.
“Jangan senyum-senyum
begitu. Kamu sudah kelas satu SMK, masih saja ceroboh. Contoh adikmu, Ria, dia
lebih baik darimu!”
Nurul yang sekarang,
yang menatap layar itu, menyeka air mata. Dalam hatinya dia berkata, “Betapa
bodohnya diriku. Pantas ibu membenciku.”
Lembaran baru dibuka
secara acak lagi oleh Nurul. Layar itu mengabur, tergantikan oleh gambaran
lain.
Pagi. Layar mulai menampakan
gambar langit cerah. Suara burung cericit terdengar merdu.
“Ini di depan rumahku.
Itu burung ayah.”
Pada layar, Nurul
melihat dirinya sendiri sedang berlari-lari keluar rumah. Di hadapannya, ada
Ria yang duduk diboncengan teman lelakinya, sementara Nurul berdiri seorang
diri di depan pagar, menunggu bus kuning datang.
Bus kuning terlihat dari
kejauhan. Tangan kiri melambai-lambai, memberi kode kepada bus itu bahwa dia
ingin menaikinya. Bus itu berhenti tidak lama kemudian.
Dikarenakan tubuh yang
besar itu, Nurul harus memegang tepi pintu untuk masuk.
“Cepatlah!” amuk sopir
bus.
Kernet itu mendorong
punggung Nurul, menjejal-jejalkan tubuhnya seperti jagung yang dimasukan ke
dalam karung penuh. Nurul tersengal, tetapi senyum senantiasa mengembang di
bibirnya. Pagi hari bus selalu penuh oleh penumpang, entah siswa ataupun
karyawan. Nurul menerobos itu semua, berusaha untuk mencari kursi kosong.
Percuma. Harapan sia-sia.
Nurul berdesak-desakan
dengan penumpang lain. Dia menyunggingkan senyum. Bus melaju kencang sebelum
Nurul mendapatkan pegangan. Tubuhnya limbung. Terjatuh ke dalam segerombolan
anak-anak SMP di belakangnya.
Teriakan-teriakan
mengudara. Mereka tergencet tubuh besar Nurul. Seisi penumpang bus, marah-marah
kepadanya.
Nurul yang malang hanya
bisa meminta maaf dan menundukan kepala.
“Menyedihkan. Aku
terlihat menyedihkan.”
Nurul cepat-cepat
membuka lembara baru lagi, dia melihat layar sudah berubah, memperlihatkan
dirinya yang sedang mengikuti lomba menyanyi: mencari vokalis band di
sekolahnya.
Nurul sekarang, yang
sedang memakai gaun panjang polos berwarna putih, menutup buku itu. Tubuh Nurul
merosot, bersandar pada salah satu kaki meja pentagon.
Bila Nurul bisa memutar
waktu, dia ingin sekali tidak mengikuti kontes menyanyi itu. Dia seharusnya
tidak termakan buaian Halimah untuk mengikutinya. Andai saja waktu itu Nurul
sadar diri, hal ini tidak akan terjadi kepadanya.
Kepala Nurul berat. Dia
ingin melupakan segala kenangan menyakitkan tersebut, tetapi kenangan masih
berdesir di pikirannya seperti ombak lautan yang tidak pernah berhenti. Nurul
memegangi kepala.
“Kamu bangga sudah
terpilih menjadi vokalis wanita utama?” itu pertanyaan Dita yang disertai
dengan toyoran keras di kepala Nurul.
“Kak Hendrik milikku,
kenapa kamu mendekatinya seperti wanita kegatelan.” Suara Dita muncul lagi,
kali ini mereka sedang berada di taman sekolah. Nurul terpojokan.
“Dasar jablay! Sudah
kubilang jangan mendekati Hendrikku!” Dita menampar pipi Nurul. Kelas sudah
kosong tidak ada siapa pun.
“Kita berikan dia
pelajaran!” Kali ini suara Chus.
Di dalam pikirannya,
Nurul melihat dirinya sendiri yang diseret Chus dan Tukhfa ke gudang sekolah.
Tempat itu jarang dikunjungi. Dita membawa keresek merah entah berisi apa.
“Ini peringatan terakhirku!
Kamu tidak layak bersanding dengan Kak Hendrik! Kamu pantasnya mati, membunuh
dirimu sendiri. Lihat! Betapa menyedihkannya dirimu. Sudah jelek, gembrot lagi.
Kamu juga berotak udang.”
Telur maupun tepung terigu
dilemparkan begitu saja, seolah-olah Nurul merupakan tempat sampah berjalan. Ketiga
gadis itu tidak sedikit pun memberi jeda untuk Nurul bernapas. Mereka terus
melempar dan melempar.
“Akan aku tuangkan saus
agar menjadi pancake.”
Mereka bertiga tertawa.
Nurul tidak tahan lagi.
Dia menerobos gerumbulan itu. Dia pergi. Berlari. Air mata berurai pada bolamatanya
yang berwarna cokelat.
Suara halilitar
terdengar. Langit mendung kini mulai menumpahkan airnya. Nurul terus berlari.
Ini sudah sore hari. Dia baru saja pulang dari latihan band, ketika ketiga
gadis itu menyergapnya dan membawa dirinya ke gudang.
Hujan semakin turun
deras. Dia tidak mau pulang dalam keadaan seperti ini. Ada sebuah tempat
persembunyian yang dia temukan kemarin. Dita CS tidak akan menemukannya di
sana. Nurul berlari ke taman sekolah, melewati tanaman bunga sepatu, melewati
rimbunan mawar, menginjak beberapa tanaman lidah mertua, menerjang tanaman
pakis, dan menangis seorang diri di lahan taman yang kosong. Dia menangis
sejadi-jadinya. Nurul tidak lagi bisa membedakan, mana air mata, mana air
hujan. Dia terus menangis. Dalam hatinya seperti ada sejuta sembilu menancap
tajam.
Kelak, ketika hujan
reda, dia akan melihat sebuah cutter silet
karatan sedang berada di dekat kakinya. Dan pikiran itu, menyergap Nurul yang
sedang putus asa: bunuh diri.
Posting Komentar
0 Komentar