Esai: Perihal Kontrak Seumur Hidup
Perihal Kontrak Seumur Hidup
Banyak sekali platform
menulis bermunculan. Dan, sebagian besarnya memberikan kontrak seumur hidup
atau mempunyai jangka kontrak panjang, seperti 10 atau 50 tahun. Banyak juga
penulis yang tergiur menulis di platform-platform tersebut dengan embel-embel
akan mendapatkan sekian dollar kalau bisa menyelesaikan novel dengan sekian
kata.
Pertama, setiap orang
mempunyai kebebasan untuk mengolah perusahaannya sendiri (dalam hal ini
platform). Dulu, ketika mengetahui ada aturan seperti ini, saya akan
mengeluarkan sejuta tanduk. Namun, seiring bertambah paham, rasanya berdemo
terhadap kebijakan perusahaan adalah hal percuma. Karena apa? Karena mereka
lebih berkuasa dan lebih mempunyai uang.
Kedua, akhirnya saya memutuskan
untuk tidak mengurusi perihal kebijakan itu. Toh, sampai saat ini, saya selalu
berpikir berulang untuk meletakan novel dengan kontrak seumur hidup dan
semacamnya.
Hanya saja, beberapa
waktu belakangan saya membaca beberapa postingan penulis yang mengeluhkan
tentang kebijakan-kebijakan perusahaan. Mereka akan merasa menjadi korban,
kemudian menjelekannya dan lebih parah mengajak penulis lain untuk memberikan
bintang satu kepada perusahaan (platform) itu. Saya rasa ini sudah keterlaluan
terlebih dia memahami semua kontrak yang sudah ada. Rasanya kayak, kalau kamu
dapat banyak, kamu akan diem dan memuji-muji, tapi kalau kamu dapat dikit dan
dipersulit, kamu akan menjelekannya. Padahal perusahaan itu juga berusaha keras
untuk mengembangkan usahanya.
Tapi, penulis kan juga
berusaha keras untuk menulis? Mereka juga harus dibayar selayaknya, dong.
Oke, itu saya setuju. Penulis
harus dibayar selayaknya dan tidak perlu dipersulit untuk mendapatkan haknya.
Namun, kembali lagi, ke kebijakan perusahaan. Marah-marah dan menjelekan suatu
perusahaan, pada akhirnya akan merugikan penulis sendiri. Apalagi kalau
perusahaan itu sudah mulai menuntut atas pencemaran nama baik, siapa yang akan
dirugikan?
Apabila penulis itu
masih pemula, saya akan bersimpati kepadanya. Bisa saja dia memang tidak tahu
mengenai batas kontrak dan semacamnya.
Jika dia penulis yang
sudah malang-melintang dan punya banyak pengalaman, kemudian masuk ke ranah
kontrak seumur hidup dan merasa dikhianati oleh platform, maka yang bisa saya
katakan, “Salahmu dewe. Kenapa juga menguji keberuntungan dengan hal seperti
itu. Ketika sebuah naskah tidak bisa dihapus dan kamu tidak mendapatkan
apa-apa, itu sebatas kesalahanmu.” Walau saya tahu, omongan seperti ini pasti
akan membuat yang bersangkutan marah.
Segala sesuatunya
memiliki resiko. Cermat adalah hal satu-satunya yang bisa kita lakukan. Percaya
dan berharap? Seorang manusia yang dekat denganmu saja bisa mengkhianatimu,
apalagi sebuah platform. Kebanyakan para platform baru akan membakar uang diawal
dan mencekik penulis diakhir. Lalu apa yang bisa kamu percaya dan harapkan? Sudah
selayaknya kamu menjadi netral saja. Kehidupan tidak hanya seputar platform
itu. Sayangi naskahmu, seperti layaknya menyayangi diri sendiri.
Kebanyakan platform biasanya
akan menuliskan kalimat seperti ini: apabila kebijakan berubah sewaktu-waktu,
penulis tidak akan diberi tahu. Dan kebijakan lama, akan diperbarui seperti
yang baru. (kurang lebih seperti itu)
Modyar, kan. Maka dari itu, saya selalu menghindari kontrak seumur hidup atau naskah tidak bisa dihapus. Karena kalau ada kebijakan baru seperti ini, kerugian saya tidak akan teramat besar. Saya pun bisa memindahkan naskah ke tempat lain.
Sudah saatnya kita berhati-hati dan mempertimbangkan segala sesuatunya. Semua platform itu bagus, tinggal kita lebih selektif saja. Semoga cuan kita semakin bertambah.
Posting Komentar
0 Komentar